| Kidung Kasih | Jemaat Bible |

Sunday, April 29, 2007

Metode Tafsir Bibel (2)

Sekarang akan dipaparkan secara ringkas bagaimana dalam keadaan yang seperti ini pikiran para nabi juga bisa dipahami melalui sejarah kritis kitab suci. Dalam hal ini kita harus mulai dari elemen-elemen yang pal ing umum, yaitu pertama-tama kita harus bertanya apa itu nabi, apa itu wahyu dan kandunqan utamanya dan apa itu mukjizat. Demikianlah kita telah memulai dengan hal-hal yang paling umum. Dari situ kita turun ke pembahasan yang sedikit lebih khusus yaitu pikiran-pikiran setiap nabi dan selanjutnya berturut-turut kita akan sampai kepada makna setiap wahyu yanq turun kepada seorang nabi, setiap penuturan dan setiap mukjizat.

Sebelum ini sudah kita jelaskan dengan banyak contoh sikap hati-hati yang harus kita ambil untuk menghindari kemungkinan tercampurnya pikiran para nabi dengan pikiran para penutur dari satu sisi, serta pikiran roh kudus dan kenyataan yang sebenarnya dari sisi lain. Untuk itu kita tidak perlu menjelaskan lagi di sini. Tetapi ada satu hal yang harus kita perhatikan tentang makna wahyu, yaitu metode kita hanya mengajarkan bagaimana membahas hal-hal yang betul-betul dilihat dan didengar oleh para nabi, bukan hal-hal yang ingin mereka ungkapkan atau permisalkan dengan gambaran-gambaran inderawi. Hal-hal ini hanya bisa diduga-duga dan tidak bisa disimpulkan dari data data utama kitab suci.

Demikianlah kita telah memaparkan metode penafsiran kitab suci. Dalam waktu yang sama juga telah membuktikan bahwa metode itu adalah satu-satunya cara yang bisa digunakan. Dan ternyata juga merupakan cara yang meyakinkan untuk mengetahui maknanya yang hakiki. Kendati begitu kami tetap mengakui bahwa orang-orang yang mendengarkan perkataan atau penjelasan yang sebenarnya dari para nabi secara langsung, seperti yang diakui oleh Kaum Farisi, atau yang mempunyai paus yang maksum (tidak pernah salah) dalam menafsirkan kitab suci, seperti umat Katolik Roma ini mempunyai keyakinan yang lebih besar. Hanya saja, karena kita tidak bisa membuktikan kebenaran perkataan itu, juga tidak bisa membuktikan keabsahan otoritas paus, kita tidak bisa menjadikan keduanya sebagai landasan sama sekali.

Bahkan umat Kristen generasi pertama mengingkari otoritas itu, sebagaimana sekte Yahudi terlama juga menolak tradisi ini. Jika kita memperhatikan jumlah tahun di mana orang-orang Farisi mentransmisikan dari imam-­imam mereka (belum yang lain), yaitu jumlah yang menyatakan bahwa tradisi ini bermula dari Nabi Musa kita mendapatkan kesalahan dalam hitungan, sebagaimana akan jelaskan dalam tempat lain. Atas dasar ini, kita harus meragukan tradisi ini sejauh mungkin. Sementara itu ada tradisi Yahudi lain menurut metodologi kita harus diduga terbebas dari pemalsuan. Tradisi itu adalah makna kata-­kata Ibrani karena kita dapatkan dari mereka. Jika tradisi pertama mengandung keraguan, makna kata-kata itu tidak bisa dirasuki oleh keraguan apa pun. Hal itu karena seseorang tidak bisa meraih keuntungan dari penggantiar makna kata, sementara itu sering kali mempunyai kepentingan dalam mengganti makna teks. Di samping itu, penggantian pertama juga sangat sulit.

Orang yang ingin mengganti makna suatu kata dalam suatu bahasa dia harus menjelaskan semua orang yang menulis dalam bahasa ini dan semua orang yang menggunakan kata ini dalam maknanya yang turun-temurun sesuai dengan pola pikir dan wawasan masing-masing mereka. Atau jika tidak, maka dia harus membuktikan kepalsuan mereka dengan sangat hati hati. Selain itu, bahasa juga terus tersimpan di kalangan orang awam dan kalangan ulama, sementara para ulama saja yang menyimpan makna teks-teks kitab suci itu. Dengan demikian kita bisa membayangkan dengan mudah kemungkinan para ulama untuk mengganti atau menyelewengkan makna teks dalam buku langka yang hanya ada pada mereka.

Sementara itu mereka tidak mungkin mengubah makna kata. Masih ada satu hal lagi, yaitu jika seseorang ingin mengubah makna suatu kata yang sudah biasa dia pakai, tidak akan mudah baginya untuk mematuhi makna baru itu dalam semua perkataan dan tulisan selanjutnya. Karena alasan itu semua, kita yakin seyakin-yakinnya bahwa tidak akan mungkin terdetik dalam benak seseorang untuk mengubah bahasa, sementara itu sangat sering terjadi distorsi pemikiran penulis dengan cara mengubah atau menyalahtafsirkan teks.

Jadi, selama metode kita -yang bertumpu pada kaedah yang menyatakan bahwa pengetahuan tentang kitab suci itu harus diambil dari kitab suci itu sendiri- adalah metode satu-satunya dan memang benar, kita tidak boleh menggantungkan harapan untuk mendapatkan sesuatu yang tidak diberikan oleh metode itu kepada metode lain demi mendapatkan pengetahuan menyeluruh tentang kitab suci.

Selanjutnya, kesulitan apa saja yang menghadang metode ini atau apa saja kekurangannya hingga bisa memberikan pengetahuan yang menyeluruh dan meyakinkan? Pertanyaan inilah yang akan kita jawab sekarang.

Pertama, ada kesulitan besar yang timbul karena metode ini menuntut pengetahuan yang sempurna tentang bahasa Ibrani. Mana pengetahuan kita tentang bahasa itu? Para ahli bahasa Ibrani terdahulu sama sekali tidak meninggalkan sesuatu yang berkaitan dengan dasar-dasar dan kaedah-kaedah yang melandasi bahasa ini. Atau paling tidak semua dasar dan kaedah yang mereka tinggalkan itu sudah tiada pada kita lagi. Tidak ada kamus, tidak pula buku tata bahasa atau retorika. Umat Yahudi benar-benar telah kehilangan sesuatu yang bisa membuat mereka terhormat dan bangga kecuali beberapa cuil bahasa dan sastra mereka saja.

Hal ini tidaklah mengherankan jika kita memperhatikan banyaknya bencana dan penindasan yang menimpa umat itu. Misalnya, nama buah-buahan, burung, ikan dan banyak nama lain banyak hilang ditelan waktu. Arti kata benda dan verba yang kita temukan dalam Taurat pun juga banyak yang hilang, atau paling tidak dipersilihkan. Arti-arti itu perlu kita ketahui. Demikian juga dengan struktur-struktur khusus yang ada dalam bahasa ini. Tapi ng hampir seluruh ungkapan dan struktur khusus yang digunakan oleh orang-orang Ibrani itu telah dicabut dari ingatan manusia. Oleh karena itu kita tidak bisa, dengan seenak hati, mencari arti setiap kata menurut pemakaian yang berlaku dalam bahasa ini.

Sebaliknya, kita banyak mendapatkan ungkapan yang dirangkai dari kata­kata yang betul-betul terkenal, tetapi artinya sangat kabur, tidak bisa diketahui sama sekali. Selanjutnya, selain pengetahuan yang sempurna mengenai bahasa Ibrani itu tidak bisa dicapai, struktur dan karakter bahasa itu juga menimbulkan masalah tersendiri. Di dalamnya banyak sekali kata yang ambigu hingga membuat kita mustahil untuk menemukan suatu jalan yang bisa menentukan arti teks-teks kitab suci secara pasti. Di samping sebab-sebab umum yang dipunyai oleh semua bahasa, bahasa Ibrani mempunyai sebab-sebab khusus yang menimbulkan banyak kata yang artinya tidak jelas itu. kira sebab-sebab itu perlu kita sebutkan di sini.

Pertama, kerancuan dan ketakjelasan arti teks dalam Taurat itu seringkali timbul dari digantinya huruf dalam kata dengan huruf lain yang mempunyai makhraj (artikulasi) yang sama. Orang-orang Ibrani membagi huruf­huruf abjad mereka ke dalam lima kelompok makhraj, sesuai dengan lima organ mulut yang digunakan untuk mengucapkannya, yaitu: dua bibir, lidah, gigi, tenggorokan dan pangkal tenggorokan. Misalnya, huruf (ahlef, Arab: alif), (jimel Arab: jim), (ayen, Arab: 'ain), (heh, Arab: ha') dinamai huruf-huruf tenggorokan. Seringkali salah satu dari huruf-huruf itu dipakai untuk mengganti yang lain seolah tidak ada bedanya. Paling tidak menurut yang kita tahu. Atas dasar ini kata (a-I) yang berarti "ke" dipakai untuk mengganti kata (`a-I) yang berarti di atas. Demikian pula sebaliknya. Oleh karena itu seringkali ada sebuah kalimat yang tersusun dari kata-kata yang tak jelas artinya atau malah sekadar suara tanpa arti.

Sebab kedua dari ketakjelasan arti itu adalah banyaknya arti dari satu kata penghubung atau kata keterangan. Misalnya huruf (vav, Arab: waw) bisa dipakai untuk menghubungkan sekaligus memisahkan dua kata. Dengan demikian bisa berarti: dan, karena, meski begitu atau ketika itu...demikian seterusnya.

Ada sebab ketiga yang menimbulkan banyak ketakjelasan arti itu, yaitu bahwasanya verba dalam bahasa Ibrani tidak mempunyai bentuk yang menerangkan masa sekarang, masa lalu masih berlangsung, masa lalu sudah lewat dan masa-masa lain yang biasa terdapat dalam bahasa-bahasa lain. Sebetulnya ada kaedah-kaedah yang disimpulkan dari dasar-dasar bahasa ini yang bisa mengganti keterangan waktu dan bentuk-bentuk yang kurang dengan mudah. Bahkan mempunyai muatan retorika yang tinggi. Tapi ng para penulis terdahulu mengabaikannya sama sekali. Mereka pun memakai verba untuk masa depan untuk menunjukkan masa lalu dan masa kini tanpa pembedaan. Sebaliknya mereka juga menggunakan verba masa lalu untuk masa depan. Akhirnya kata dan ungkapan yang tak jelas artinya itu pun timbul dalam jumlah yang banyak sekali.

Selain tiga sebab ini, masih ada dua sebab lagi yang lebih penting. Pertama, orang-orang Ibrani tidak mempunyai huruf yang berfungsi sebagai hidup. Kedua, mereka tidak terbiasa memenggal perkataan tertulis mereka atau menekankan suatu arti dengan tanda baca. Tidak diragukan lagi bahwa dua kelemahan ini bisa ditutupi dengan pembubuhan titik dan harakat. Hanya saja kita tidak boleh mempercayai dua sarana ini, karena yang membuat dan menggunakannya adalah ahli bahasa yang datang jauh kemudian. Dengan demikian otoritas mereka tidak ada nilainya sama sekali. Adapun para pendahulu menulis tanpa titik (maksudnya tanpa huruf hidup atau harakat). Banyak bukti yang menyatakan bahwa titik-titik itu dibuat pada masa yang jauh kemudian. Yaitu ketika orang-orang sudah membutuhkan penafsiran Taurat.

Dengan demikian, titik-titik yang ada sekarang, demikian juga dengan harakat tidak lain kecuali tafsir-tafsir baru yang tidak boleh kita percayai begitu saja dan tidak memiliki otoritas yang melebihi tafsiran-tafsiran lain. Yang tidak mengetahui hal ini tidak akan tahu kenapa kita harus memaafkan penulis Surat I