| Kidung Kasih | Jemaat Bible |

Sunday, April 29, 2007

Mandat Tuhan Sang Rasul (1)

Mandat Tuhan sang Rasul,
Wahyu Nabi dan Ajaran sang Guru

Pembahasan tentang apakah para rasul ketika menulis surat-surat mereka itu sebagai rasul dan nabi atau sebagai guru, kemudian pembahasan tentang peran para rasul

Seseorang tidak bisa membaca Perjanjian Baru tanpa meyakini terlebih dahulu bahwa para rasul (apostle)1) itu juga para nabi. Tetapi perlu diketahui para nabi sendiri tidak selamanya berbicara berdasarkan wahyu. Bahkan, jarang sekali mereka berbicara dengan cara seperti itu. Dengan demikian, kita bisa bertanya, apakah para rasul itu menulis surat-surat mereka dalam kapasitas sebagai nabi dan berdasarkan wahyu atau mandat khusus, seperti halnya Musa, Yeremia dan lain-lain, atau sebagai manusia biasa dan seorang guru. Apalagi, Paulus dalam surat pertama kepada penduduk Korintus (14:6)2) membedakan dua jenis pekabaran. Jenis pertama bergantung pada wahyu sedang jenis kedua bergantung kepada pengetahuan biasa. Dengan demikian kita bisa bertanya lagi apakah dalam' surat-surat itu, para rasul bersabda layaknya seorang nabi atau mengajar layaknya seorang ahli fikih.

Sekarang, jika kita meneliti cara penuturan surat-surat itu, kita akan mendapatkannya jauh berbeda dengan cara nabi dalam menuturukan sesuatu. Para nabi selalu menekankan bahwa diri mereka berbicara berdasarkan mandat dari Tuhan, seperti: inilah firman Tuhan, tuhan para tentara berfirman, denqan perintah Tuhan... dan seterusnya. Selanjutnya, penekanan semacam ini tidak hanya terjadi dalam sabda-sabda yang mereka sampaikan di depan umum, tetapi juga dalam surat-surat yang mengandung wahyu.

Misalnya surat Eli kepada Yoram (lihat kitab II Tawarikh 21:12) yang juga dibuka dengan kata-kata berikut ini: "sebab itu beqinilah firman TUHAN...". Lain halnya dengan surat-surat para rasul. Di dalamnya, kita tidak mendapatkan sesuatu yang semisal dengan itu. Bahkan, sebaliknya, dalam surat pertama kepada Jemaat di Korintus (7:40),3) Paulus berbicara berdasarkan pendapatnya sendiri. Lebih dari itu, dalam banyak ayat, kita mendapatkan cara berbicara yang menyiratkan jiwa yang bimbang, seperti Surat kepada Jemaat di Roma (3:38) yang menyebutkan: "Karena kami mengira..."4) Demikian juga dengan ungkapan: "Sebab aku mengira..." yang tersebut dalam fasal 8 ayat 18.

Selain itu, kita juga menemukan cara bertutur yang sangat jauh dari cara bertutur seorang nabi, seperti: "Hal ini kukatakan kepadamu sebaqai pembolehan, bukan sebagai perintah. " (lihat I Kor 7:6),5) juga ayat yang mengatakan: "... Untuk mereka aku tidak mendapat perintah dari Tuhan. Tetapi aku memberikan pendapatku sebaqai seorang yanq dapat dipercayai karena rahmat yang diterimanya dari Allah." (I Kor 7:25) dan ayat-ayat lain yang serupa. Selanjutnya, perlu diketahui bahwa ketika mengatakan -dalam beberapa ayat lalu- bahwa dirinya memegang atau tidak memegang mandat dari Tuhan, tidak berarti bahwa dirinya benar­benar mendapatkan wahyu atau mandat dari Tuhan.

Sebaliknya wahyu atau mandat yang dia maksudkan itu hanyalah ajaran-ajaran yang disampaikan oleh Almasih kepada murid-muridnya di atas gunung.6) Dari sisi lain, jika kita mengamati cara para rasul dalam menyampaikan dogma Injil, akan tampak oleh kita bahwa cara itu jauh berbeda dengan cara penyampaian para nabi. Mereka selalu menggunakan penyimpulan (argumentasi) dalam setiap kesempatatan, sehingga tidak tampak sedang menyampaikan nubuat tetapi sedang berdebat. Sementara itu, nubuat hanya berisi dogma-dogma dan perintah­perintah saja, karena Allah sendirilah yang berbicara, yakni Allah yang tidak menyimpulkan, tetapi hanya memerintah berdasarkan kekuasaan mutlak, sesuai dengan zat-Nya.

Di samping itu, wewenang nabi memang tidak sejalan dengan penyimpulan. Oleh karena itu barangsiapa ingin membuktikan akidah-akidah yang mereka anut dengan penyimpulan maka dia telah menundukkan akidah-akidah itu di bawah penilaian pribadi. Sepertinya, inilah yang dilakukan oleh Paulus. Dia memang benar-benar menyimpulkan. Misalnya dalam surat pertama kepada Jemaat di Korintus (10:15) dia mengatakan, "Aku berbicara kepadamu sebagai orang-orang yang bijaksana. Pertimbangkanlah sendiri apa yang aku katakan!" Terakhir, para nabi menyampaikan kepada kita hal-hal yang diwahyukan, bukan hal-hal yang bisa diketahui dengan cahaya alami, yaitu penyimpulan. Meskipun dalam Pentateukh, kita bisa menemukan hal-hal yang sepintas lalu disimpulkan, jika kita amati lagi dengan lebih jeli akan tampak mustahil bisa dianggap sebagai argumen. Misalnya, saat Musa mengatakan kepada bani Israel dalam kitab Ulangan (31:27), "... Sedanqkan sekarang, selagi aku hidup bersama-sama dengan kamu, kamu sudah menunjukkan kedegilanmu terhadap TUHAN, terlebih lagi nanti sesudah aku mati."

Ungkapan ini tidak boleh kita pahami bahwa Musa ingin meyakinkan bani Israel dengan penyimpulan bahwa setelah dirinya mati mereka pasti menjauhi penyembahan yang benar kepada Allah. Dalam kasus ini, argumen itu memang nyata-nyata batil. Dalilnya bisa kita ambil dari Alkitab sendiri. Terbukti, orang Israel tetap meniti jalan lurus pada masa Yosua dan setelah itu pada masa pemerintahan Samuel, Daud, Sulaiman... dan seterusnya. Dengan demikian, ungkapan Musa ini adalah sebuah penekanan etik yang dia sampaikan sebagai seorang orator yang meramalkan kehancuran bangsa Israel di masa depan dengan gaya yang mengandung spirit yang sama dengan spirit gambaran yang ada dalam benaknya mengenai masalah ini. Alasan yang menghalangi saya untuk menganggap Musa sedang berbicara sebagai pribadi dengan tujuan agar ramalannya bisa diterima oleh bangsa Israel secara lebih luas adalah ayat 21 dari fasal yang sama.7)

Dalam ayat itu disebutkan bahwa kekalahan masa depan ini telah diwahyukan kepadanya dengan ungkapan yang berbeda. Selanjutnya, dengan cara ini pula kita harus memahami semua argumen Musa dalam Pentateukh. Argumen-argumen itu bukanlah pembuktian dengan akal, tetapi berbagai jenis gaya berbicara untuk mengungkapkan perintah Allah secara lebih efektif. Kendati begitu, saya tidak mengingkari secara total kemampuan para nabi dalam berargumen. Saya hanya menekankan bahwa semakin kuat argumen mereka, pengetahuan mereka itu akan lebih dekat kepada masalah-masalah wahyu daripada pengetahuan aiamiah. Apalagi kita semua mengakui bahwa para nabi memiliki pengetahuan super natural (alamiah) mengenai hal-hal yang berkaitan dengan dogma-dogma murni, perintah-perintah dan hukum-hukum yang mereka serukan. Oleh karena itu, Musa sebagai nabi terbesar tidak pernah melakukan penyimpulan dalam arti yang sebenarnya.

Lain halnya dengan para rasul. Saya kira Paulus tidak menulis penyimpulan-penyimpulan panjang dan argumen-argumen yang ada di dalam Surat Kepada Jemaat di Roma berdasarkan wahyu super natural. Demikianlah, cara dan metode para rasul dalam berbicara dan berdiskusi -sebagaimana terlihat dalam surat-surat mereka­menunjukkan dengan betul-betul terang bahwa tulisan­tulisan itu tidak berasal dari wahyu atau mandat dari Tuhan, tapi sekadar penilaian-penilaian pribadi dan alamiah bagi penulisnya. Selain itu juga hanya memuat pesan-pesan persaudaraan yang disertai dengan basa-basi dan ungkapan manis yang betul-betul berbeda dengan metode seorang nabi dalam mengungkapkan wewenangnya. Hal ini misalnya terlihat dalam permintaan maaf yang disampaikan oleh Paulus (Surat kepada Jemaat di Roma 15:15): "...dengan agak berani telah menulis kepadamu, wahai kawan-kawan." Selanjutnya, kita juga mendapatkan kesimpulan yang sama di saat tidak menemukan sesuatu pun yang menunjukkan bahwa para rasul itu pernah mendapatkan perintah untuk menulis.

Sebaliknya, yang mereka terima hanya perintah untuk berdakwah8) di semua tempat yang mereka tuju dan mendukung perkataan­perkataan mereka dengan mukjizat-mukjizat. Kehadiran mereka dibutuhkan, demikian juga dengan mukjizat yang mereka lakukan itu untuk membimbing manusia kepada agama dan mengukuhkan mereka di atas agama itu. Hal semacam ini terlihat jelas dalam kata-kata Paulus sendiri dalam suratnya kepada Jemaat di Roma (1:11): "Sebab aku ingin melihat kamu untuk memberikan karunia rohani kepadamu guna menguatkan kamu, "