| Kidung Kasih | Jemaat Bible |

Sunday, April 29, 2007

Metode Tafsir Bibel (1)

Semua orang mengakui bahwa kitab suci adalah firman Tuhan. Sebagaimana juga mengakui bahwa kitab suci itu mengajarkan kebahagiaan rohani yang hakiki dan menunjukkan jalan keselamatan. Namun, ternyata perilaku manusia menunjukkan sesuatu yang sama sekali berbeda dengan hal itu. Jika dicari sebabnya akan ditemukan bahwa hal itu karena masyarakat umum sama sekali tidak berusaha untuk hidup sesuai dengan aturan­aturan kitab suci. Kita semua tahu bahwa hampir semua orang telah mengganti firman Allah dengan bidah-bidah mereka sendiri. Sebagaimana juga tahu bahwa mereka telah memeras semua tenaganya atas nama agama untuk memaksa orang lain agar berpikir seperti dirinya.

Dapat dikatakan, kita semua melihat mayoritas imam (robi; hakham) sibuk mencari jalan untuk mengekstrak bidah-bidah pribadi dan kesimpulan-kesimpulan serampangan mereka dari kitab suci dengan cara menakwilkannya secara paksa kemudian meligitimasinya dengan kedaulatan Tuhan. Mereka tidak akan begitu perhatian dan begitu berani dalam masalah lain sebagaimana perhatian dan keberaniannya dalam menafsirkan kitab suci yang berarti juga menafsirkan pikiran Roh Kudus itu. Satu-satunya hal yang mereka takutkan dari perbuatan mereka ini adalah adanya orang lain yang menunjukkan bahwa perbuatan itu salah, dan setelah itu akan melihat musuh-musuh mereka meruntuhkan kekuasaan mereka, sedang mereka sendiri menjadi bahan hinaan orang lain. Inilah satu-satunya hal yang mereka takutkan. Mereka sama sekali tidak takut jika ternyata menyandangkan ajaran akidah batil kepada Roh Kudus secara salah atau menyimpang dari jalan keselamatan.

Sebenarnya, jika semua orang jujur dalam kesaksian mereka terhadap kebenaran kitab suci, niscaya mereka akan mempunyai cara hidup yang berbeda sama sekali. Jiwa mereka tidak akan bergoncang, tidak akan bertikai dengan penuh kebencian seperti ini, tidak pula dikuasai oleh keinginan yang membabi-buta dalam menafsirkan kitab suci dan menyingkapkan bidah-bidah dalam agama, bahkan tidak akan berani mempercayai suatu pendapat yang tidak diakui oleh kitab suci dengan betul-betul jelas sebagai salah satu akidah. Lalu, akhirnya para penoda masalah-masalah sakral yang terbiasa mengubah kitab suci di bagian sana­sini pun akan berhenti melakukan kejahatan seperti ini dan tidak meletakkan tangan-tangan kotor mereka di atas kitab suci itu. Hanya ambisi kejahatanlah yang menjadikan agama untuk membela bidah-bidah manusia. Bukan ketaatan kepada Roh Kudus. Bahkan ambisi itu pula yang menjadikan agama sebagai alat untuk menebarkan segala jenis perpecahan dan kebencian antar manusia. Padahal seharusnya menyebarkan kebaikan. Yang lebih naif lagi, semua kejahatan ini dilakukan di balik kedok semangat beragama dan iman yang menyala-nyala.

Selain kejahatan-kejahatan itu masih ada lagi khurafat atau takhayul yang menganjurkan untuk menghina hukum alam dan akal serta menganjurkan untuk menghormati hal-hal yang bertentangan dengan keduanya. Dari sini, tidak mengherankan -jika untuk menambah rasa hormat kepada kitab suci itu- orang-orang berusaha memberikan kepadanya suatu penafsiran yang sejauh mungkin bisa nampak bertentangan dengan akal itu sendiri. Oleh karena itu, ada banyak orang yang memimpikan adanya rahasia sangat dalam yang disembunyikan oleh kitab suci. Akibatnya, mereka memeras daya upaya untuk mereka-reka maksud dari rahasia-rahasia itu. Mereka mengabaikan yang jelas-jelas bisa tercapai demi mencari hal-hal yang tidak bisa dicapai. Lalu, semua bidah yang mereka ciptakan saat mengigau itu pun mereka sandangkan kepada Roh Kudus kemudian mereka pertahankan dengan segala kekuatan dan semangat yang mereka punyai.

Seperti itulah biasanya kondisi manusia. Sesuatu yang mereka peroleh dari nalar murni akan dia bela dengar nalar dan akal pula. Sedangkan keyakinan-keyakinan yang diberikan oleh emosi dia bela dengan emosi pula.

Untuk keluar dari petak umpet ini sekaligus membebaskan pikiran kita dari penilaian masa lalu (stock of mind) para teolog, juga agar kita dengan tanpa sadar tidak mempercayai bidah-bidah manusia seolah ajaran Tuhan, kita harus membicarakan metode yang benar untuk menafsirkan kitab suci. Selain itu, demi mencapai maksud ini, pengetahuan kita tentang kitab suci itu juga harus jelas. Mengapa? Karena, selama tidak mengetahuinya secara jelas, kita tidak akan bisa mengetahui sesuatu yang meyakinkan tentang ajaran-ajaran kitab suci atau Roh Kudus.

Untuk menyingkat pembicaraan, metode ini akan paparkan secara ringkas seperti berikut ini. Pertama, metode ini tidak berbeda sama sekali dengan metode yang kita anut dalam menafsirkan alam/materi. Sebaliknya kedua metode itu sama persis dari segala seginya. Untuk itu, sebagaimana metode penafsiran alam/materi yang secara prinsipil berdiri di atas dasar pengamatan benda, pengumpulan data yang meyakinkan dan terakhir pada definisi benda-benda itu, maka dalam menafsirkan kitab suci kita juga harus mencari pengetahuan historis yang tepat. Setelah mendapatkannya, yakni mendapatkan data­data yang meyakinkan, kita bisa mengetahui kerangka pikiran penulis kitab suci itu. Atas dasar ini, jika ternyata kita tidak menemukan data yang bisa dipakai untuk menafsirkan kitab suci dan menjelaskan kandungannya selain yang diambil dari kitab suci itu sendiri dan sejarah kritisnya, setiap orang dari kita bisa meneruskan kajiannya tanpa harus takut salah. Dia juga bisa menciptakan gambaran tentang sesuatu yang berada di luar daya pemahaman kita dengan derajat keyakinan yang sama dengan keyakinan yang ada pada segala sesuatu yang kita ketahui dengan nalar murni.

Untuk membuktikan bahwa cara ini bukan sekadar meyakinkan. Tetapi lebih dari itu, merupakan satu-satunya cara yang memungkinkan sekaligus sejalan dengan metode penafsiran alam/materi, kita harus menyebutkan bahwa kitab suci dalam banyak kesempatan, membahas masalah­masalah yang tidak bisa disimpulkan dari data-data yang kita dapatkan melalui nalar murni. Masalah-masalah itu adalah kisah-kisah dan masalah-masalah wahyu yang menempati bagian terbesar dari kitab suci. Kisah-kisah itu secara umum berisi mukjizat-mukjizat atau riwayat-riwayat yang menceritakan kejadian-kejadian yang tidak lazim terjadi di alam, tetapi tetap sesuai dengan pemahaman dan pola pikir para penutur yang membukukan kitab suci itu. Sedang masalah-masalah wahyu telah beradaptasi dengan pendapat-pendapat para nabi dan melampaui batas-batas pemahaman manusia biasa. Untuk itu, kita harus mengambil semua informasi tentang semua hal ini -hampir seluruh isi kitab suci- dari kitab suci itu sendiri. Sama halnya dengan informasi tentang alam/materi yang kita ambil dari alam/materi itu sendiri. Adapun segala sesuatu yang berkaitan dengan ajaran-ajaran etika yang ada dalam kitab suci, meskipun kebenarannya bisa dibuktikan dengar pikiran-pikiran yang populer, kita tetap tidak bisa membuktikan dengan pikiran-pikiran itu bahwa kitab suci memang benar-benar memuatnya. Seperti tadi, masalah ini juga tidak bisa dibuktikan kecuali dengan kitab suci itu sendiri. Sekali pun kita ingin membuktikan kesucian kitab suci tanpa bergantung kepada penilaian masa lalu, kita harus membuktikan dengan kitab suci itu sendiri bahwa dia benar-benar mengajarkan kebenaran etik. Cara ini adalah satu-satunya cara untuk membuktikan kesuciannya. Hal ini karena kepercayaan kita kepada nabi pertama-tama bergantung pada tabiatnya yang menyukai keadilan dan kebaikan. Dengan demikian kita harus membuktikan tabiat itu dulu sebelum mempercayai mereka. Selain itu, mukjizat juga tidak mampu membuktikan kesucian Tuhan1). Setelah ini, tidak perlu menyebutkan lagi bahwa nabi pembohong juga bisa membuat mukjizat. Maka dari itu kita harus menyimpulkan kesucian kitab suci dari seruannya kepada keutamaan saja. Dan hal ini hanya bisa dibuktikan dengan kitab suci itu sendiri. Jika belum terlaksana maka kepercayaan kita terhadap kesuciannya bersandar pada penilaian masa lalu (stock of mind) dalam arti yang sebenarnya. Demikianlah, semua pengetahuan kita tentang kitab suci harus bersumber dari kitab suci itu sendiri.

Terakhir, kitab suci sama dengan benda, tidak memberikan kepada kita definisi segala sesuatu yang dibahasnya. Atas dasar itu, sebagaimana kita harus menyimpulkan definisi-definisi benda-benda dari berbagai macam perilaku benda-benda itu, kita harus menyimpulkan definisi-definisi yang tidak diberikan oleh kitab suci itu dari berbagai riwayat yang kita dapatkan mengenai masalah yang sama. Jadi, kaedah umum yang kita pegang dalam menafsirkan kitab suci adalah bahwa kita tidak boleh menyandangkan kepadanya suatu ajaran sebelum melakukan penelitian sejarah, dan hasilnya menunjukkan bahwa ajaran itu memang benar-benar dikatakannya. Sekarang kita akan membahas masalah penelitian sejarah ini. Bagaimana seharusnya dan apa yang bisa kita ketahui darinya.

Harus diketahui karakter dan ciri-ciri bahasa yang dipakai untuk membukukan kitab suci dan yang biasa digunakan oleh para penulisnya. Dengan begitu kita bisa meneliti semua arti yang dimaksud oleh teks menurut pemakaian umum. Karena semua orang yang menulis kitab suci, baik perjanjian lama maupun baru itu berbangsa Ibrani tidak diragukan lagi bahwa mengetahui bahasa Ibrani adalah suatu keharusan. Bukan hanya untuk memahami Perjanjian Lama yang tertulis dalam bahasa ini tetapi juga untuk memahami kitab-kitab Perjanjian Baru. Kitab-kitab yang terakhir ini meskipun beredar dalam bahasa­bahasa lain tetapi masih penuh dengan ungkapan­ungkapan Ibrani yang jumlahnya banyak sekali.

Harus dikumpulkan ayat-ayat kitab tertentu kemudian diklasifikasikan menurut tema-tema pokok tertentu pula yang jumlahnya terbatas. Pengumpulan dan klasifikasi ini dimaksudkan agar kita dengan mudah menemukan semua ayat yang berkaitan dengan tema yang sama. Setelah selesai kita menginjak kepada langkah selanjutnya, yaitu mengumpulkan ayat-ayat mutasyabihat dan mujmal atau yang saling bertentangan satu sama lain. Yang dimaksud ayat mujmal di sini adalah ayat yang sulit dipahami menurut konteks kalimat, bukan ayat yang sulit dipahami menurut akal. Yang kita pertimbangkan di sini adalah arti teks kitab suci dan bukan hakikatnya. Bahkan, dalam rangka mencari arti kitab suci ini, pertama-tama kita harus berusaha agar pikiran kita tidak sibuk melakukan pembuktian-pembuktian berdasarkan prinsip-prinsip pengetahuan naluri (apalagi berdasarkan penilaian-penilaian masa lalu). Selanjutnya, agar tidak mencampuradukkan antara arti suatu ungkapan dengan hakikat sesuatu, kita harus menemukan arti kata itu berdasarkan pemakaian bahasa saja atau pembuktian-pembuktian yang bersandar pada kitab suci semata.
Agar lebih jelas, perbedaan ini akan dijelaskan dengan contoh. Ungkapan-ungkapan Musa seperti, "Allah api" atau "Allah cemburu" adalah sangat jelas jika dilihat dari sisi artinya dalam kalimat itu saja. Ungkapan-ungkapan seperti ini dimasukkan ke dalam kelompok ayat-ayat jelas (muhkam) padahal menurut akal sangat tak jelas. Jika makna harfiah suatu ayat bertentangan dengan cahaya naluri namun tidak bertentangan dengan ketentuan-ketentuan asasi yang kita ambil dari kitab suci maka makna harfiah itu harus kita pertahankan. Sebaliknya, jika tafsiran harfiah dari kata-kata itu bertentangan dengan ketentuan-ketentuan yang kita ambil dari kitab suci maka harus dicari tafsiran lain yang bersifat metaforis, meskipun benar-benar sesuai dengan akal. Untuk mengetahui apakah Musa benar-benar meyakini bahwa Allah adalah api atau tidak, kita harus menyimpulkannya dari perkataan-perkataan lain yang pernah disampaikan oleh Musa, bukan dari kesesuaian dan pertentangannya dengan akal. Dari sini, karena Musa pernah menyebutkan dalam ayat­ayat lain dengan betul-betul jelas bahwa Allah tidak menyerupai benda-benda yang bisa dilihat, baik yang ada di bumi, di langit dan di air, kita harus memahami kata Musa tadi (Allah api, AIlah cemburu) secara metaforis. Meski begitu kita tidak boleh menyimpang dari makna harfiah terlalu jauh. Untuk itu pertama-tama kita harus meneliti apakah kata "Allah api" bisa mempunyai makna lain selain makna harfiah itu? Dengan kata lain apakah kata "Api" bisa dipakai untuk menyatakan hal lain selain api yang biasa kita lihat sehari-hari? Jika pemakaian kebahasaan tidak membolehkan pemberian makna lain, maka apa pun yang terjadi kita tidak boleh memberikan tafsiran lain kepada ungkapan itu, meskipun sangat bertentangan dengan akal. Sebaliknya, makna ini harus kita pakai sebagai dasar penafsiran ungkapan-ungkapan lain, meskipun ungkapan-ungkapan yang terrakir ini sesuai dengan akal. Jika pemakaian kebahasaan ternyata tetap tidak memberikan apa-apa, maka mustahil untuk memadukan ungkapan-ungkapan itu. Selanjutnya kita harus menangguhkan pernyataan kita terhadap semua ungkapan itu. Tetapi, karena kata "api" sendiri bisa berarti "murka" atau "cemburu" (lihat Ayub 31:12)2) maka dengan mudah kita bisa memadukan ungkapan­ungkapan Musa itu. Akhirnya, kita sampai kepada kesimpulan yang sah, yaitu bahwa ungkapan "Allah api" dan ungkapan "Allah cemburu" pada hakikatnya adalah satu ungkapan.
Masih ada satu hal lagi, yaitu Musa dengan terus terang mengatakan bahwa Allah cemburu, sedang dalam kesempatan lain dia tidak pernah mengatakan bahwa Allah tidak mempunyai emosi atau hawa nafsu. Dari sini kita bisa menyimpulkan bahwa Musa memang meyakini adanya sifat cemburu pada Zat Allah, atau paling tidak ingin menyerukan hal itu, meskipun menurut pendapat kita hal itu bertentangan dengan akal. Sebelum ini telah kita jelaskan, bahwa kita tidak boleh memadukan konsep kitab suci dengan ketentuan-ketentuan akal dan pikiran-pikiran kita yang sudah ada. Mengapa? Karena kita harus mengambil semua pengetahuan tentang kitab suci dari kitab suci itu saja.

Penelitian historis ini harus mempertalikan kitab­kitab para nabi dengan semua situasi penyerta khusus yang masih tersimpan hingga kini. Yakni: riwayat hidup penulis kitab, karakternya, tujuan yang ingin dicapai, siapa dia, dalam kesempatan apa dan kapan dia menulis, untuk siapa dan menggunakan bahasa apa? Selain itu, penelitian tersebut juga harus membahas kondisi-kondisi khusus dari kitab tertentu. Bagaimana mula-mula dikodifikasikan, tangan­tangan siapa saja yang pernah memegangnya, ada berapa naskah yang berbeda dari bagian yang sama, siapa yang memutuskan untuk memasukkannya ke dalam kitab suci, dan terakhir bagaimana seluruh kitab kanonik itu dihimpun dalam satu kumpulan? Penelitian historis harus mencakup semua ini. Karena, untuk mengetahui bagian mana saja yang dianggap undang-undang dan mana saja yang dianggap ajaran-ajaran etika, kita harus mengetahui riwayat hidup para penulis, budi pekertinya dan tujuan yang ingin mereka capai. Di samping itu, kita juga akan lebih mudah memahami perkataan seseorang, jika kita mengetahui keahlian khusus dan pola pikirnya. Lalu, agar tidak mencampuradukkan antara ajaran-ajaran abadi dengan ajaran-ajaran temporal dan untuk kelompok masyarakat tertentu, kita juga harus mengetahui dalam momen apa, kapan, untuk siapa dan pada masa apa, semua ajarar itu ditulis. Terakhir kita harus mengetahui semua kondisi lain yang tersebut tadi agar tahu sejauh mana kita bisa berpegang pada otoritas setiap kitab. J uga agar tahu apakah di sana ada tangan-tangan jahil yang mengubah teks atau -jika tidak diubah- apakah ada sejumlah kesalahan yang menyusup ke dalamnya dan jika ada, apakah ada orang-orang yang cakap dan dapat dipercaya telah membenarkan kesalahan kesalahan itu. Kita harus mengetahui semuanya agar tidak berjalan seperti orang buta hingga gampang terjerumus dalam kesalahan. Juga agar tidak menerima sesuatu kecuali yang meyakinkan dan tidak mungkin dirasuki oleh keraguan.

Setelah dilakukan penelitian seperti inl dan telah diambil keputusan dengan tegas bahwa tidak akan diterima sesuatu yang tidak diteliti atau yang tidak bisa disimpulkan secara jelas bahwa hal itu betul-betul keyakinan para nabi, tibalah saatnya untuk mengkaji pikiran para nabi dan roh kudus. Namun, untuk menjalankan tugas ini dengan mengikuti metode dan aturan yang lazim, kita harus berjalan selayaknya beranjak dari pengamatan benda ke penafsirannya. Untuk itu, karena dalam mengkaji benda, yang pertama-tama kita perhatikan adalah menemukan hal-hal yang paling mencakup, yaitu hal-hal yang dipunyai oleh semua benda, seperti gerak dan diam, juga menemukan hukum-hukum yang selalu dipatuhi oleh semua benda itu, baru beralih ke hal-hal yang sedikit lebih khusus, demikian pula dalam membahas sejarah kitab suci. Pertama-tama kita harus mencari hal-hal yang paling umum, mencari asas atau dasar tempat kitab suci berpijak dan hal-hal yang dipesankan oleh semua nabi sebagai keyakinan abadi dan mempunyai manfaat yang besar bagi seluruh manusia. Hal-hal yang mereka pesankan itu adalah seperti bahwasanya Allah wajib Esa, Mahakuasa dengan kekuasaan mutlak, Dia semata yang harus disembah, melihat segala sesuatu, mencintai orang-orang yang menyembah-Nya dan mencintai tetangganya sebagaimana mencintai diri mereka sendiri. Ajaran-ajaran seperti ini ada di setiap tempat dalam kitab suci dalam kadar kejelasan dan keterusterangan yang maknanya tidak bisa diragukan oleh siapa pun. Adapun mengenai tabiat Allah dan bagaimana cara-Nya dalam melihat dan memelihara segala sesuatu, kitab suci tidak pernah mengatakan tentang hal itu secara terus terang, juga tidak pernah memberikan keyakinan abadi yang berkaitan dengan perkara ini dan perkara-perkara lain yang semisal. Sebaliknya, para nabi sendiri tidak satu kata dalam masalah-masalah ini. Jadi tidak ada alasan bagi kita untuk meyakini perkara-perkara itu sebagai keyakinan yang bersumber dari roh kudus, meskipun bisa dibahas secara lebih baik melalui cahaya naluri.

Demikianlah, jika kita telah mengetahui keyakikan mencakup yang diserukan oleh kitab suci ini dengan pengetahuan yang sebenarnya, kita berpindah ke ajaran-ajaran yang sedikit lebih khusus yang berkaitan dengan urusan kehidupan sehari-hari dan bersumber dari keyakin umum itu seperti parit-parit yang mengalir dari mata airnya. Yang dimaksud dari perkara-perkara itu adalah perbuatan-perbuatan baik yang tidak mungkin diwujudkan jika tidak ada kesempatan untuk itu. Semua ketakjelasan dan keraguan yang kita temukan dalam kitab suci mengenai perbuatan-perbuatan itu harus dijelaskan dan diberi batasan melalui konsep umum yang diseru oleh Alkitab. Jika timbul pertentangan, kita harus mengetahui dalam momen apa, kapan dan untuk siapa teks-teks yang saling bertentangan itu diltulis. Misalnya, ketika Almasih mengatakan, "Berbahagialah oranq yang berduka-cita (orang-orang yang menangis), karena mereka akan dihibur" kita tidak tahu dukacita atau tangis apa yang dia maksud. Tetapi setelah itu dia memberitahukan bahwa kita tidak boleh memperhatikan selain kerajaan Allah dan keadilan-Nya sebagai kebaikan tertinggi (lihat Matius 6:33).3) Dari sini kita tahu bahwa yang dimaksudkan oleh Almasih dengan orang-orang yang berdukacita dalam ayat di atas adalah orang-orang yang menangisi kerajaan dan keadilan Allah karena tidak dikenal oleh manusia. Hanya inilah yang membuat mereka menangis. Selanjutnya, menangisi kerajaan Allah juga berarti mencintai keadilan dan merendahkan berbagai macam kenikmatan dunia.

Sama halnya ketika dia mengatakan, "Siapapun yang menampar pipi kananmu, berilah juqa kepadanya pipi kirimu!" Seandainya dia memerintahkan hal itu seperti seorang pembuat hukum yang ingin memberitahukan kehendaknya kepada para hakim berarti telah melenyapkan syariat Musa. Padahal dia sendiri dengan terus terang sudah .melarangnya (Matius 5:17).4) Oleh karena itu kita harus mencari untuk siapa, kepada siapa dan kapan dia mengatakan hal itu. Dalam hal ini yang mengatakannya tentu saja adalah Almasih yang tidak pernah membuat undang-undang selayaknya seorang legislator atau badan legislatif. Sebaliknya dia hanya menyampaikan ajaran­ajaran selayaknya seorang guru. Tujuannya bukan untuk memperbaiki perbuatan-perbuatan lahir tetapi untuk memperbaiki jiwa atau batin seseorang. Ungkapan itu dia sampaikan kepada orang-orang yang tertindas, hidup di negara yang tidak mengenal keadilan sama sekali dan tampaknya sudah berada di ambang kehancuran. Di sisi lain ungkapan yang mirip dengan ungkapan Almasih yang dia sampaikan pada saat kota Yerusalem terancam hancur ini juga pernah disampaikan oleh Yeremia pada saat penghancuran kota itu untuk yang pertama kali. Dengan kata lain, Yeremia mengatakannya pada kesempatan yang hampir sama.5) Maka, selama para nabi memberikan ajaran-ajaran itu hanya pada waktu penindasan dan tidak pernah merumuskannya dalam bentuk undang-undang. Bahkan Musa yang tidak menulis pada zaman penindasan, sebaliknya tengah berusaha untuk mendirikan negara yang benar, dia memerintahkan untuk membalas mata dengan mata meskipun waktu itu adalah waktu balas dendam dan membenci tetangga. Dari sini tampak jelas dengan sejelas­jelasnya bahwa menurut prinsip-prinsip kitab suci itu sendiri ajaran-ajaran yang disampaikan oleh Almasih dan Yeremia itu -maksudnya menerima kelaliman dan tidak melawan kejahatan- hanya berlaku pada saat orang-orang tidak menikmati keadilan dan sedang ditindas, bukan pada masyarakat yang sehat. Dengan demikian dalam masyarakat yang sehat dan menjaga keadilan, setiap orang -jika menginginkan keadilan- harus meminta kepada hakim agar menghukum orang yang berbuat aniaya kepadanya (lihat Imamat 5:1).6).Bukan untuk balas dendam (Imamat 19: 17,18).7) tetapi untuk membela keadilan dan undang­undang negara, juga agar para penjahat tidak sempat memetik buah kejahatan mereka.

Semua ini betul-betul sejalan dengan cahaya natural. Sebetulnya masih bisa diberikan berbagai contoh lain mengenai hal ini, tetapi kami melihat bahwa yang disampaikan saat ini sudah cukup untuk memaparkan pikiran kami dan menjelaskan manfaatnya. Dan memang inilah tujuannya saat ini. Hanya saja sampai kini kita baru mejelaskan kemungkinan mempelajari teks-teks kitab suci yang berkenaan dengan urusan-urusan kehidupan. Mempelajari kitab suci dari topik ini adalah mudah. Para penulis kitab suci tidak banyak berbeda. Lain halnya dengan topik-topik lain yang sudah masuk dalam ruang pemikiran teoritis saja. Untuk sampai kepadanya sulit. Jalannya pun sempit. Para nabi tidak sepakat dalam masalah-masalah semacam itu. Penuturan-penuturan mereka tampak disiapkan sejauh mungkin bisa sesuai dengan penilaian masa lalu. Untuk itu kita tidak boleh memahami perkataan seorang nabi dari perkataan nabi lain yang lebih jelas, kecuali jika telah terbukti secara betul­betul jelas bahwa pandangan kedua nabi itu sama.